Allah Swt menetapkan rezeki kepada seseorang dengan kebijakan dan kearifan. Apabila rezeki sebagian orang ditambah atau dikurangi, adalah itu berdasarkan pengaturan dan prinsip Allah yang bijaksana. Allah berfirman: "Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hambaNya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat." (QS. asy-Syura: 27)
Alquran mengatakan bahwa apabila Allah mencukupkan rezeki seseorang sedemikian rupa sehingga tak perlu lagi baginya untuk berikhtiar dan berusaha, orang itu akan menjadi durhaka. Maka, Allah menurunkan rezeki yang diketahui-Nya pantas, dan Dialah yang paling mengetahui keadaan makhluk-makhluk-Nya dan mengetahui apa yang terbaik bagi masing-masingnya.
Selain itu, pokok yang penting ialah bahwa adanya berbagai sarana rezeki dan kurang atau lebihnya adalah salah satu ujian, sebagaimana disebutkan Alquran "... dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu .... " ( QS. al-An’am: 165)
Lebih dari itu, pada dasarnya urusan kehidupan dunia ini merupakan sarana ujian. "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa di antara kamu yang lebih baik amalya ...." (QS. al-Mulk: 2)
Tentang cara pengujian, kita ketahui bahwa manusia tidak sama dalam kekuatan fisik, dan tidak semua dapat melakukan suatu jenis kegiatan ekonomi pada tingkatan yang sama. Yang satu lebih kuat secara fisik, yang lainnya kurang. Demikian pula, kemampuan mental manusia dan kecakapan pengelolaannya tidak sama. Allah Yang Mahakuasa, dengan perbedaan dalam hal rezeki ini, menguji apakah para individu puas dan rela dengan hak-haknya sendiri ataukah masih memanjangkan tangannya untuk mencaplok hak-hak orang lain pula; apakah yang mempunyai banyak harta, dengan asumsi bahwa ia memperolehnya melalui jalan halal, memenuhi kewajibannya ataukah bersikap seperti yang dikatakan Alquran: ".. Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku...." (QS. al-Qashas: 78)
Dalam kasus lainnya, apakah seseorang menyembah Allah hanya bilamana ia berharta ataukah sekalipun hartanya diambil ia tetap mengingat Allah; atau kebalikannya, apakah orang mengangkat tangannya untuk berdoa dan memohon kepada Allah hanya ketika ia bertangan kosong dan tak berharta ataukah ia mengingat Allah ketika ia kaya pula? Perbedaan dalam rezeki dan dalam menikmati berbagai nikmat adalah suatu kebijaksanaan umum di mana dengan itu manusia diuji dan dicoba.
*Disarikan dari buku karya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi - Monoteisme
Comments