50 tahun pasca wafatnya Kanjeng Nabi Muhammad ﷺ di sebuah padang pasir tandus dekat sungai Eufrat terjadilah mega tragedi pembantaian yang dicatat oleh sejarah sebagai tragedi paling memilukan sepanjang sejarah.
73 kafilah keluarga nabi dikepung oleh ribuan pasukan bersenjata lengkap, kafilah kecil ini dipimpin oleh kesatria gagah berani bergelar ‘Penghulu Pemuda Surga’ Al-Husain bin Ali, bersama puluhan keluarga dan sahabat setianya.
Al-Husain menolak tunduk dan berbaiat pada kekuasan tiran yang secara terang-terangan memamerkan kezalimannya kepada khalayak umat.
Dengan berbekal keimanan dan niat yang tulus untuk tetap menjaga agama yang dirisalahkan kakeknya Muhammad Al-Mustofa, Sayyidina Husain bangkit tanpa takut meski maut menjadi taruhannya.
Dituliskan mashur dalam kitab-kitab sejarah saat tiba di padang Karbala beliau berkata: “Aku tidak keluar (ke medan Karbala) untuk keburukan atau kesia-siaan dan kerusakan atau sebagai orang yang zalim. Akan tetapi aku keluar untuk memperbaiki umat kakekku Muhammad ﷺ. Aku berkehendak menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar serta berjalan di jalan kakekku Muhammad ﷺ dan di jalan ayahku Ali bin Abi Talib.”
Pada hari itu, 10 Muharam 61 H Sayyidina Husain, keluarga, dan sahabatnya gugur syahid setelah melakukan pertempuran yang tidak seimbang.
Ratusan anak panah menghujani tubuh Al-Husain, tombak menusuk jantungnya dan setelah gugur tubuhnya pun dicincang-cincang dengan pedang, diinjak kaki-kaki kuda dan kepalanya diarak untuk dibawa ke istana durjana.
Al-Husain sengaja membawa semua keluarganya ke Karbala adalah dengan maksud menunjukan kepada umat bahwa kepergian-nya ke Irak bukanlah untuk berperang memberontak, tetapi sebuah pesan apabila agama Muhammad harus tegak dengan pengorbanan yang menumpahkan merah darah maka keluarga sucinya-lah yang harus lebih dulu tumpah.
Epos kepahlawanan Sayyidina Husain pun bergema sepanjang masa, ini membuktikan darah telah mengalahkan pedang. Istana megah yang dibangun di atas tumpukan mayat tak berdosa pun perlahan runtuh, kebangkitan melawan rezim diktator Umayah pun dimulai.
Revolusi yang digemakan Al-Husain abadi, mulai dari gerakan Tawwabin hingga revolusi Iran adalah bukti bahwa semangat Husaini tak pernah padam.
Para pejuang kebenaran dan kemanusiaan dari lintas agama dan ras menjadikan Al-Husain sebagai inspirasi, sebut saja Mahatma Gandi di India, Che Guvara di Kuba, bahkan Bung Karno dari Indonesia.
Hal itu ditulis presiden Soekarno dalam bukunya “Di Bawah Bendera Revolusi”: “Husain adalah panji berkibar yang diusung oleh setiap orang yang menentang kesombongan di zamannya, di mana kekuasaan itu telah tenggelam dalam kelezatan dunia serta meninggalkan rakyatnya dalam penindasan dan kekejaman."
Hikayat kesyahidan Sayyidina Husain pun menjadi kisah abadi di banyak wilayah di Indonesia, selama berabad-abad tradisi peringatan duka pada bulan Muharram yang dikenal di Nusantara sebagai bulan Suro (nama diambil dari peristiwa Asyura) ini pun terus dilestarikan secara adat, misalnya dengan tidak dibolehkannya melaksanakan pesta pernikahan di bulan naas ini.
Dan jika kita mau membaca berbagai literatur, kemerdekaan bangsa Indonesia juga tak lepas dari inspirasi akan kepahlawan Sayyidina Husain yang begitu melegenda di Indonesia.
Dirgahayu Indonesia ke-76
Commentaires