Pentingnya etika meninggalkan perjamuan Ilahi pada bulan Ramadan sangatlah penting. Dalam hal ini, orang berpuasa seyogianya mengoreksi dirinya sendiri. Orang yang berpuasa hendaknya mengoreksi diri sendiri pada saat-saat terakhir bulan Ramadan. Hal ini penting dilakukan untuk melihat sejauh mana kedekatan dirinya dengan maksud dan tujuan dari perjamuan tersebut. Apakah perubahan maknawi telah terjadi dalam dirinya; ataukah dirinya masih berada dalam keadaan yang sama dengan keadaan pada saat sebelum bulan Ramadan.
Imam Ja’far Shadiq a.s. berkata: “Ketika tiba malam terakhir bulan Ramadan, ucapkanlah, ‘Ya Allah, ini adalah bulan Ramadan yang Engkau telah menurunkan Alquran di dalamnya dan telah berlalu. Aku berlindung kepada Zat-Mu Yang Mulia, ya Rabbi, supaya fajar malamku ini tidak terbit atau bulan Ramadan ini berlalu sedangkan aku masih memiliki tanggungan untuk-Mu atau dosa yang dengannya Engkau akan menyiksaku pada Hari aku berjumpa dengan-Mu.”
Dalam kaitan ini, Sayid lbnu Thawus berkomentar mengenai amalan-amalan hari terakhir di bulan Ramadan sebagai berikut:
“Di antara amalan-amalannya adalah Anda harus mengetahui lembaran-lembaran amal Anda sejak awal bulan hingga hari terakhir dan sebelum berpisah dengannya. Lihatlah apa yang dimiliki saat memasuki arena perjamuan Allah Swt itu, saat dirinya hadir di dalamnya, dan menguji sejauh mana ilmunya mengenai Allah Swt, mengenai Rasulullah saw dan keluarganya, serta pengetahuannya mengenai apa yang diketahuinya dari berbagai hal yang merupakan tanggung jawabnya (taklif) di dunia ini dan apa yang akan menjadikannya mulia di akhirat nanti.
Apakah pengetahuan, kecintaan, penerimaan, kesibukan, dan kecenderungan kepada semua itu bertambah, atau malah keadaannya sama saja dengan saat dirinya memasuki awal bulan Ramadan, yaitu dalam keadaan semrawut. Begitu juga dengan keadaan ridanya pada pengaturan Allah Swt; apakah dirinya rida dalam semua masalahnya (dalam pengaturan Allah Swt), ataukah terkadang dirinya rida dan terkadang membenci pengaturan yang dipilih Allah Swt untuknya?
Bagaimana dirinya bertawakal kepada Allah Swt. Juga, apakah sedang berada dalam tujuan yang dikehendaki Tuhannya, ataukah untuk meyakini Allah dia membutuhkan sesuatu selain Allah berupa keterikatan kepada dunia ini?
Bagaimana berserah diri kepada Raja dari segala urusannya? Bagaimana persiapan yang berkaitan dengan pengawasan Allah Swt atas rahasia-rahasianya? Dan bagaimana kedekatan dirinya dengan Allah saat sendiri atau dalam keramaian? Bagaimana keyakinan dirinya dengan janji Allah Swt dan membenarkan janji Allah untuk melemahkan karakter negatifnya? Bagaimana sikap altruismenya kepada orang lain?
Bagaimana cintanya kepada-Nya dan meminta kedekatan dengan-Nya dari-Nya serta perhatiannya untuk mendapatkan rida-Nya? Dan bagaimana kerinduan dirinya pada keterbebasan dari rumah ujian dan berpindah ke tempat-tempat yang aman dari berbagai perangai buruk dan kasar?
Apakah dirinya merasa terbebani dari tanggung jawab agama, atau yakin bahwa itu adalah kemuliaan tertinggi? Bagaimana kebenciannya terhadap apa yang dibenci Allah Swt berupa mengumpat (ghibah) dan kebohongan, mengadu domba dan hasud, cinta jabatan, dan semua yang mengalihkannya dari Tuhan?...
Ketika seseorang melihat adanya penyakit dan perilaku jeleknya muncul kembali, maka tidak ada gunanya lagi ibadah sebulan itu. Yakinilah bahwa dosanya itu berasal dari dirinya sendiri dan dialah yang mendatangkan musibah pada dirinya sendiri. Karenanya, dia menangis di hadapan Tuhannya, dan meminta pertolongan-Nya dengan sangat agar menghilangkan semua itu dengan rahmat-Nya.” (Al-Iqbal, 1/448)
Imam Ja’far Shadiq a.s. ketika berada dalam malam terakhir Ramadan berkata: “Barang siapa yang berpisah dengan bulan Ramadan pada malam terakhirnya, maka ucapkanlah. ‘Ya Allah, janganlah Kau jadikan bulan ini sebagai masa terakhirku untuk berpuasa dalam bulan Ramadan aku berlindung kepadaMu supaya fajar malam ini tidak terbit kecuali Engkau telah mengampuniku.’ Niscaya Allah Swt akan mengampuninya sebelum pagi hari menjelang dan menganugerahkan kepadanya tobat serta kembali (ke haribaan-Nya).” (AI-Iqbal, 1/436; Biharul-Anwar, 98/181)
*Disarikan dari buku Kado dari Langit – Ayatullah Muhammad Rey Syahri
Comments