Islam, dengan berbagai prinsipnya, dan kaum muslimin dengan para tokohnya membuktikan kepada umat manusia bahwa suatu masyarakat akan menjadi baik jika individu-individunya memiliki persaudaraan yang kuat dan persahabatan yang kokoh, yang tidak dikhawatirkan hancur oleh hantaman nafsu, dan ambruk oleh serbuan fitnah.
Imam Ja’far Shadiq meriwayatkan dari kakeknya Imam Ali bin Abi Thalib bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Seorang mukmin adalah sahabat yang mulia, sedangkan orang munafik adalah ampas yang kotor. Sebaik-baik orang mukmin adalah yang akrab dengan mukmin lainnya, dan tidak ada kebaikan pada orang yang tidak mau berkawan dan menjadi kawan.”
Baca juga Hubungan Persaudaraan dalam Islam
Imam Shadiq juga mengatakan: “Perkuatlah dirimu untuk menjadi sahabat yang baik bagi sahabatmu dalam menegakkan akhlak yang baik. Pelihara ucapanmu dan tahan marahmu, sedikitkan bersantai-santai, luaskan maafmu, dan jadikan dirimu dermawan.”
Kita menemukan Ahlulbait sebagai orang-orang yang selalu meneladani akhlak Rasulullah saw. Mereka selalu menginginkan agar kaum muslimin menjadi satu keluarga, yang dipersatukan oleh perasaan yang sama dan diatur oleh akidah yang sama, di mana setiap orang di antara mereka selalu menjaga perasaan orang lain dan menahan emosinya. Yang demikian itu dapat dilakukan jika masing-masing orang dapat mengendalikan nafsunya dalam rangka memelihara kesucian hati, kejernihan kasih sayang, dan kepercayaan dalam persaudaraan.
Bahkan, Ahlulbait selalu meminta kepada pengikutnya untuk menanamkan benih kasih sayang dalam hati mereka masing-masing, lalu menjadikan persahabatan mereka sebagai bangunan yang kokoh dan kuat. Ahlulbait mengerahkan seluruh tenaga dan pikiran mereka untuk membawa umat ke dalam persahabatan dan cinta. Sebab, tujuan dan cita-cita Islam adalah memperkuat hubungan persaudaraan, cinta, dan persahabatan di kalangan kaum muslimin. Mereka mengajarkan kepada umat hak-hak dan kewajiban dalam persahabatan.
AI-Ma’alli bin Khunais bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq as tentang hak-hak dalam persaudaraan yang diwajibkan Islam kepada para pemeluknya, beliau as menjawab: “Ada tujuh hak dan kewajiban. Setiap hak saudaranya merupakan kewajiban baginya. Jika dia mengabaikan salah satu di antaranya, maka dia keluar dari perlindungan Allah dan lingkaran ketaatan kepada-Nya, dan dia tidak memperoleh bagian apa pun dari Allah.”
AI-Ma’alli bertanya lagi: “Apa saja itu ya Imam?” Imam Shadiq menjawab: “Wahai al-Ma'alli, aku takut bila engkau sudah kuberitahu engkau tidak akan bisa menghafalnya dan mengamalkannya.”
Al-Ma'alli menjawab: “Tiada daya dan kekuatan kecuali di sisi Allah.”
Kemudian Imam Shadiq mengatakan: “Yang paling mudah di antaranya adalah, hendaknya engkau mencintainya sebagaimana engkau mencintai dirimu, dan tidak suka jika dia terkena sesuatu sebagaimana engkau tidak suka jika sesuatu itu mengenai dirimu. Kedua, hendaknya engkau menjauhi apa yang dibencinya dan mengikuti apa yang disukainya. Ketiga, hendaknya engkau membantunya dengan diri, harta, ucapan, tangan, dan kakimu. Keempat, hendaknya engkau menjadi mata, cermin, dan petunjuk dirinya. Kelima, hendaknya engkau tidak dalam keadaan kenyang sementara dia lapar, engkau minum dengan puas sementara dia kehausan, engkau berpakaian sementara dia telanjang.
Baca juga Menggembirakan Saudara Mukmin
Keenam, jika engkau mempunyai pembantu sedangkan dia tidak, maka hendaknya engkau mencarikan pembantu untuknya yang mencucikan pakaiannya, memasakkan makanannya, dan merapikan kamarnya. Ketujuh, hendaknya engkau mempercayai sumpahnya, memenuhi undangannya, menengoknya jika dia sakit, dan menghadiri jenazahnya jika dia meninggal. Jika engkau tahu bahwa dia sedang membutuhkan sesuatu, maka penuhilah segera kebutuhannya itu, dan jangan engkau menunggu sampai dia memintanya kepadamu. Jika engkau melakukan semua itu, berarti engkau telah menyambungkan tali persaudaraan dengannya.”
Jika kaum muslimin memiliki semangat persaudaraan yang tinggi seperti ini, maka mereka dapat diibaratkan sebagai tubuh yang satu, yang seluruh bagiannya secara serempak memikul kewajiban-kewajiban hidup, sejak dari yang paling mudah hingga yang tersulit. Mereka memiliki semangat berkorban dalam membela kebersamaan dan mempertahankan prinsip-prinsip Islam yang mewarnai diri mereka, membentuk moral, menyatukan perasaan, dan menumbuhkan kesadaran mereka.
Dengan demikian, mereka tidak akan mengenal suatu kesulitan, musibah, dan penderitaan kecuali sebagai milik bersama. Jika sudah demikian, mereka akan menjelma menjadi kekuatan yang menggetarkan semua penjuru. Dalam keadaan seperti itu, orang yang paling miskin dan lemah di antara kaum muslim pasti memiliki kesadaran bahwa dirinya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dia tunaikan semaksimal mungkin, sebagaimana halnya dengan pemimpin yang juga harus melaksanakan kewajiban-kewajiban dan tugas-tugasnya sesuai dengan kedudukan dan jabatannya.
*Disarikan dari buku Akhlak Keluarga Muhammad – Dr. Musa Jawad Subaiti
Comments