top of page

Kepemilikan Materi Bukan jaminan Kebahagiaan


Semua harta kekayaan yng bersifat duniawi akan hilang dan berubah. Oleh karena itu, orang yang terpaut hatinya dengan dunia selalu merasa khawatir kehilangan tempat bertambat hatinya. Hal ini merupakan sebab yang lain yang dapat menimbulkan kegelisahan dalam diri manusia. Atas dasar itu pula, nash-nash agama menegaskan bahwa karena kenikmatan materil itu sementara, maka manusia diingatkan agar lebih hati-hati dan menyadari untuk tidak menyandarkan dirinya kepada dunia.


Pada suatu hari Sayidina Ali sedang duduk menjahit sandalnya yang rusak. Tiba-tiba Ibnu Abbas masuk dan terheran-heran melihat apa yang sedang dilakukan oleh Sayidina Ali yang saat itu menjadi khalifah dan memimpin jutaan kaum Muslimin. Akhirnya terjadilah pembicaraan di antara mereka berdua, kemudian khalifah menunjuk sepasang sandalnya yang sudah rusak itu dan berkata: “Demi Allah kedua sandalku lebih aku cintai ketimbang kekuasaan atas kalian, kecuali karena saya ingin menegakkan kebenaran dan menolak kebatilan.”


Juga dikisahkan suatu hari Sayidina Ali beserta para sahabatnya sedang berdiri di samping kuburan dan berujar kepada orang-orang mati: “Wahai penghuni kubur yang asing, tempat yang sepi, kuburan yang gelap. Wahai orang yang berkalang tanah, wahai orang yang terasing, wahai orang yang sendirian, wahai orang yang asing, engkau telah mendahului kami, dan kami akan menyusul kalian. Rumah kalian telah ditempati, istri kalian telah menikah lagi, dan harta kalian telah terbagi. Inilah kabar yang bisa kami bawa untuk kalian, lalu kabar apa yang bisa kalian sampaikan?”


Setelah itu, Sayidina Ali menoleh kepada para sahabatnya sambil mengatakan: “Jika mereka bisa berbicara niscaya mereka akan memberitahukan kepada kalian bahwa sebaik-baik bekal ke sana adalah ketakwaan.”


Orang-orang yang berada di balik harta kekayaan yang melimpah, dan ketenaran, serta kenikmatan maknawi yang lain, kebanyakan tidak mendapatkan kenikmatan itu kecuali dengan merenggut hak-hak orang lain, menaruh beban yang berat di pundak mereka, serta mengisap darah mereka. Sudah barang tentu hal ini menimbulkan pertentangan, permusuhan, dan fitnah yang membuat semua orang tidak tenang. Berbagai bentuk kezaliman itu akan menimbulkan rasa tidak tenteram di hati orang yang melakukannya, dan mereka pun akan menyalahkan diri mereka sendiri.

Semua peperangan, pertikaian berdarah, dan kejahatan yang kita saksikan di dunia ini sebabnya adalah kembali kepada rasa tamak terhadap dunia dan isinya. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Cinta dunia adalah pangkal kesalahan dan kunci segala kejahatan.”

Ajaran Islam diarahkan untuk membebaskan manusia dari belitan materi, dan melarangnya untuk menjadikan materi sebagai tujuan akhirnya. Dan para manusia agung juga telah memperingatkan kepada kita mengenai tipuan kelezatan materi yang hanya sesaat.


Sayidina Ali mengatakan: “Perumpamaan dunia adalah seperti ular. Ia sangat halus apabila disentuh tetapi di perutnya ada racun yang mematikan. Orang yang berakal menghindarinya, tetapi anak kecil yang masih bodoh terjebak olehnya.”



Sayidina Ja'far Shadiq mengatakan: “Perumpamaan dunia adalah seperti air laut. Setiap orang yang haus meminumnya, maka kehausannya akan semakin bertambah sampai ia membunuhnya.”

Di riwayat lain Sayidina Ja'far Shadiq juga mengatakan: “Barang siapa hatinya tersangkut di dunia maka dia tersangkut pada tiga perkara: kesedihan yang tiada berakhir, angan-angan yang tak tercapai, dan harapan yang tak kunjung datang.”


Siapa saja yang mencapai kebahagiaannya hanya pada harta kekayaan duniawi, maka dia akan semakin menambah ketamakan pada dirinya untuk mencari harta kekayaan itu. Dia tidak akan kenyang dan tenang, bahkan dia akan hidup dalam kegelisahan dan kegoncangan. Atas dasar itulah Rasulullah ﷺ bersabda: “Kecintaan terhadap dunia memperbanyak kedukaan dan kesusahan; dan menjauhi dunia melegakan hati dan tubuh.”

Alangkah bagusnya perumpamaan yang disebutkan oleh Sayidina Muhammad Baqir di mana beliau mengatakan: “Perumpamaan orang yang tamak akan dunia adalah seperti cacing, setiap kali lubangnya bertambah, maka ia semakin jauh untuk bisa keluar sampai ia mati tertimbun.”

Dalam salah satu nasihat Luqman kepada anaknya disebutkan: “Janganlah kamu di dunia ini bertindak seperti kambing yang terpana melihat hijaunya dedaunan. Ia makan dan gemuk kemudian mati karena kegemukan. Tetapi jadikanlah dunia sebagai jembatan untuk menyeberangi sebuah sungai. Engkau melaluinya, dan meninggalkannya, kemudian tidak kembali lagi kepadanya sampai akhir zaman nanti.”


Semua riwayat tersebut mengisyaratkan kepada kita mengenai ketamakan yang menguasai wujud manusia ketika dia tenggelam dalam dunia materi. Materi tidak membuatnya tenang tetapi malah mengantarkannya ke jahanam, yang jika dikatakan kepadanya: “Apakah engkau sudah penuh?” Maka dia akan menjawab: “Apakah masih ada lagi yang hendak dimasukkan?”


Dana Mustadhafin


Комментарии


bottom of page