Pada zaman Nabi saw, seorang lelaki yang terpukau dengan besarnya pahala jihad ingin mencari surga di medan pertempuran. Ia pun datang kepada Nabi saw, namun beliau berpesan agar orang bukan saja mencari surga di bawah kilatan pedang. Ini bukan berarti Nabi saw melarang orang untuk berjihad dalam arti berperang di medan pertempuran.
Rasulullah saw memberikan contoh kepada kita tentang skala prioritas. Jika di sekitar kita masih banyak orang yang harus kita penuhi haknya, mengapa kita harus melintasi samudra untuk memenuhi hak saudara jauh kita. Masalah jihad adalah masalah prioritas. Alquran memerintahkan untuk mendahulukan jihad memenuhi hak keluarga kita lebih dahulu sebelum yang lain. Allah berfirman: “Berikanlah hak pada keluarga yang dekat, lalu orang miskin, orang yang berada dalam perjalanan, dan janganlah kamu berbuat boros seboros-borosnya.” (QS. al-Isra: 26)
Nabi saw mengecam orang yang mengabaikan prioritas, seperti orang yang menghabiskan waktunya di masjid dan menelantarkan kehidupan keluarganya. Seperti kisah seorang sahabat yang sering menghabiskan waktunya di masjid untuk itikaf dengan mengabaikan keluarganya. Ia adalah Sa'ad, seorang sahabat Nabi yang pertama kali meninggal setelah Nabi hijrah ke Madinah. Nabi saw mengantarkan jenazahnya dengan bertelanjang kaki. Ia dikuburkan di Baqi, tanah pekuburan yang berseberangan dengan masjid Nabi saw. Rasulullah saw bersabda: “Kasihan Sa'ad. Tuhan menyempitkan kuburannya, karena selama hidupnya ia menyempitkan kehidupan keluarganya.”
Kepada seorang sahabat lain yang seperti Sa'ad, Rasulullah saw bersabda: “Jika kamu duduk meluangkan waktu bersama dengan keluargamu, itu lebih dicintai Allah Swt daripada beriktikaf di masjidku ini.”
Dikisahkan juga pada zaman Nabi saw ada seorang anak muda yang tinggal di Yaman. Namun ia tidak pernah berjumpa dengan Nabi saw. Beliau saw berpesan kepada para sahabatnya agar menyampaikan pesan dan salam beliau kepadanya jika Nabi telah tiada. Pada masa khalifah kedua, ia pun datang ke Madinah. Begitu ia mendengar salam dari Nabi, ia pingsan.
Pada masa kekhalifahan Imam Ali, ia pun berkesempatan untuk berjihad dan berperang di pihak Imam Ali pada perang Shifin sepeninggal ibunya. Ia dahulu tidak sempat ikut berperang bersama Nabi saw karena berkhidmat kepada ibunya yang sudah tua renta. Lelaki ini adalah Uwais Al-Qarni.
Uwais mencari surga di bawah telapak kaki ibunya, sebelum mencari surga di bawah kilatan pedang. Ia mencurahkan keringatnya untuk membahagiakan ibunya sebelum menumpahkan darahnya untuk memerangi musuhnya. Kedua-duanya jihad. Uwais melakukan kedua jihad itu dengan memerhatikan skala prioritas. Ia mulai berjihad dengan membahagiakan keluarganya yang terdekat. Baru setelah itu, ia berjihad untuk menghancurkan musuh-musuh kebenaran.
Jadi, sebelum berjihad dengan berperang di medan pertempuran, kita harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, kita harus memilih berbagai macam alternatif jihad. Kita harus mendahulukan jihad untuk membela dan memenuhi hak keluarga, tetangga, dan orang-orang yang terdekat dengan kita. Kita harus memutuskan berdasarkan skala prioritas.
Kedua, jihad di medan perang harus didahului, disertai, dan diikuti dengan jihad melawan hawa nafsu. Rasulullah saw bersabda: “Jihad yang paling utama adalah engkau perangi hawa nafsumu, karena Allah Swt.”
Sahabat Abu Dzar bertanya kepada Nabi saw: “Ya Rasulullah, jihad apa yang paling utama?"
Rasulullah menjawab, “Jihad yang paling utama adalah engkau perangi nafsu dan keinginanmu.”
Imam Ali a.s. berkata: “Ketahuilah bahwa jihad yang paling agung adalah jihad melawan nafsumu. Maka sibukkanlah dengan jihad melawan dirimu, kamu akan memperoleh kebahagiaan.”
Comments