Di dalam Islam dikatakan bahwa terdapat hak-hak orang-orang miskin dan orang-orang lemah di dalam harta orang-orang yang berkecukupan. Allah Swt berfirman: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.” (QS. al-Isra: 26)
Di dalam surah al-Ma'arij, Allah Swt juga berfirman: “Dan orang-orang yang di dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang [miskin] yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa [yang tidak mau meminta].” (QS. a-Ma'arij: 24-25)
Baca juga Siapakah Mustadhafin dalam Alquran?
Murtadha Muthahhari dalam buku kumpulan ceramahnya dikatakan bahwa orang-orang yang lemah dan orang-orang yang tidak mampu, yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja dan berusaha, atau yang mana usaha dan kemampuannya tidak mencukupi, mereka tidak dibebani kewajiban untuk bekerja dan berusaha, atau mereka tidak dibebani kewajiban untuk bekerja melebihi batas kemampuannya. Dengan demikian, kewajiban telah gugur dari diri mereka.
Benar, mereka tidak produktif dan tidak mampu melaksanakan kewajiban kerja, namun tentu kita tidak bisa menelantarkan mereka. Karena, berdasarkan hukum pokok pertama dan hukum hubungan tujuan antara mereka dengan bahan-bahan makanan yang terdapat di alam ini, hidangan ini pun dibentangkan juga untuk mereka. Allah Swt berfirman: “Dan Allah telah meratakan bumi untuk seluruh makhluk-[Nya].” (QS. ar-Rahman: 10)
Jika mereka mampu dan mereka tidak menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, maka mereka tidak berhak atas hidangan alam ini. Namun, karena mereka tidak mampu, maka hak pertama mereka tetap ada pada tempatnya. Sungguh, orang-orang yang lemah dan orang-orang miskin mempunyai hak pada harta orang-orang yang kaya.
Inilah perbedaan antara dasar-dasar hak Islam yang berlandaskan kepada sebab tujuan, dengan dasar-dasar hak materialisme, salah satunya adalah dalam hal ini. Berdasarkan pandangan dasar-dasar hak Islam, orang-orang yang lemah sungguhsungguh memiliki hak, sedangkan menurut pandangan dasar-dasar hak non-Ilahi, hak hanya tercipta dengan adanya kerja dan produksi.
Imam Ali a.s. berbicara tentang hubungan tujuan antara manusia dengan bahanbahan makanan yang terdapat di alam ini. Di dalam perkataannya itu Imam Ali a.s. berkata: “Setiap yang mempunyai nyawa ada makanannya dan setiap biji makanan ada pemakannya.”
Imam Ali a.s. juga berbicara mengenai hubungan pelaku antara hak dan pemilik hak. Diceritakan, salah seorang dari pengikut Imam Ali a.s. datang ke hadapan beliau. Dia meminta bagian dari pampasan perang yang direbut oleh pasukan Islam dengan mempertaruhkan nyawa. Menjawab permintaan itu Imam Ali a.s. berkata: “Harta ini adalah pampasan perang kaum Muslim. Jika kamu bersama mereka dalam peperangan, dan seperti mereka di dalam menanggung berbagai kesulitan dan kepayahan, maka engkau berhak mempunyai bagian dari pampasan perang ini. Namun jika tidak, maka apa yang merupakan basil dari jerih payah mereka merupakan hak mulut-mulut mereka, dan bukan merupakan mulut-mulut yang lain.” (Nahj al-Balaghah, khotbah 223)
Artinya, setiap lengan yang bekerja keras dan mendapatkan sesuatu dari jalan yang dibenarkan, maka tentu harta yang diperolehnya merupakan miliknya. Tidak ada artinya jika sebuah lengan bekerja keras dan menghasilkan sesuatu dari kerja kerasnya itu, lalu hasilnya itu menjadi milik orang lain.
コメント