Antara abad kesatu dan kedua Masehi ada sebuah kerajaan di sebelah selatan Jazirah Arabia. Air mengalir ke ibukota dari sumber air yang jaraknya sepuluh hari perjalanan. Mereka membangun sistem irigasi yang canggih. Sejarah mencatat bendungan yang mereka bangun sebagai bendungan Ma'arib. Dari bendungan ini dialirkan air ke rumah-rumah dan kebun-kebun. Negeri itu menjadi negeri yang sangat subur. Begitu suburnya sehingga jika seorang perempuan meninggalkan rumahnya untuk memenuhi keperluannya sambil membawa bakul di atas kepalanya, maka sebelum ia sampai ke tempat tujuannya, bakulnya sudah penuh dengan buah-buahan (yang jatuh dari pepohonan di pinggir jalan).
Baca juga Dampak Perbuatan Dosa
Beberapa orang Nabi diutus untuk mengingatkan mereka agar bersyukur atas nikmat Allah. Namun, mereka berpaling dari peringatan Rasul itu; bahkan mereka menggunakan kemakmuran itu untuk memuaskan hawa nafsu mereka. Allah kemudian merusakkan bendungan. Air bah dahsyat melanda kota-kota mereka. Kebun-kebun subur berubah menjadi kebun-kebun gersang. Allah mengabadikan negeri ini dalam surah Saba’ ayat 15-19. (Tafsir AdDurr Al-Mantsur)
Negeri Saba adalah sebuah pelajaran. Negeri yang makmur berubah menjadi miskin karena dosa-dosa penduduknya. Alquran menyebut berbuat dosa itu dengan “berbuat zalim terhadap diri sendiri". Bila orang berbuat dosa, maka ia menganiaya dirinya sendiri. Bila masyarakat membiarkan perbuatan dosa, maka masyarakat itu menghancurkan dirinya sendiri. Allah menghukum bukan saja dosa individual, tetapi juga dosa kolektif. Islam memandang perilaku manusia sebagai pengubah yang menentukan jalannya sejarah. Allah tidak akan mengubah satu kaum, sebelum kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka. (QS. ar-Ra’d: 11)
Manusia memiliki sifat-sifat kebinatangan. Nafsu adalah sumber energi yang menggerakkan tubuhnya. Untuk memelihara kemanusiaannya, Allah menciptakan berbagai penjagaan. Salah satu di antara penjagaan itu adalah akal. Dengan akalnya, manusia dapat tidak secara membuta mengikuti hawa nafsunya. Bahkan dengan akalnya, ia dapat mengendalikan nafsu untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Malu adalah penjagaan lain yang diberikan oleh Allah. Bila binatang dapat melakukan apa saja dalam situasi apa saja, maka manusia yang normal harus memperhitungkan situasi untuk melakukan suatu kegiatan. Manusia juga bukan hanya digerakkan oleh nafsu; ia juga bertindak atas dasar rasa malu. Karena itu, Nabi saw berkata: “Jika engkau tidak malu, lakukanlah apa pun sekehendak hatimu.” (Kanz Al-Ummal, hadis ke-5780).
Dalam riwayat lain Nabi bersabda: “Seandainya malu itu manusia, pastilah ia manusia yang saleh.” (Kanz Al-Ummal, hadis ke-5781)
Akal dan malu adalah dua contoh penjagaan manusia, supaya ia tidak celaka atau jatuh menjadi binatang. Kata Rasulullah saw: “Seorang mukmin memiliki 72 penjagaan. Bila ia berbuat satu dosa, maka runtuhlah satu penjagaan.” (Al-Bihar 73/362).
Baca juga Dosa-dosa yang Meruntuhkan Penjagaan
Semua dosa meruntuhkan penjagaan. Jika masyarakat memandang dosa sebagai hal yang wajar, maka perlahan-lahan masyarakat itu akan berubah menjadi masyarakat binatang. Di antara semua dosa, menurut Imam Ali bin Husain a.s. yang paling cepat meruntuhkan penjagaan: syirik, minum arak, bermain judi, saling menyumbang untuk keperluan permainan yang tidak bermanfaat, menyebarkan aib orang lain, dan bergaul dengan orang yang tidak kuat keyakinan agamanya (Ma’ani Al-Akhbar, 370)
Syirik misalnya; Pertama, syirik terdapat pada akidah dan bukan pada perbuatan. Anda musyrik bila Anda memperlakukan pendapat seseorang sama mutlaknya seperti pendapat Allah Swt, padahal pendapat itu tidak dibenarkan oleh Allah. Termasuk musyrik bila Anda merasa benar dan kemudian mempersalahkan Tuhan. Misalnya, sebuah musibah yang terjadi karena kelalaian Anda, Anda katakan musibah itu karena kehendak Allah semata. Anda juga musyrik, bila Anda tunduk secara mutlak kepada kekuasaan di luar Allah Swt. Anda boleh tunduk kepada Rasul, karena Allah memerintahkannya demikian. Anda boleh taat kepada makhluk, bila ketaatan itu dibenarkan Al-Khaliq.
Baca juga Siapa Itu Taghut?
Berdasarkan hal-hal di atas, kita dapat mengatakan bahwa tauhid artinya membebaskan Anda dari penghambaan kepada penguasa selain Rabb Al- 'Alamin. Tauhid artinya menyerahkan diri sepenuhnya kepada ketentuan Allah (yang tasyri'iy) atau ketentuan siapa pun selama ketentuan itu dibenarkan oleh Allah. Syirk berarti melepaskan diri dari ketaatan kepada Allah. Karena itu, Islam menentang kepatuhan mutlak kepada para tiran, karena kepatuhan seperti itu tidak berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah.
Memutlakkan pendapat sendiri sebagai kebenaran yang tidak dapat diganggu-gugat sama saja dengan mengklaim diri sendiri sebagai Tuhan. Perilaku inilah yang melahirkan tiran-tiran di dunia ini. Alquran menggunakan kata thaghut untuk istilah tiran. Thaghut berasal dari kata thagha, yang berarti melanggar batas, berbuat sewenang-wenang, kejam, atau menindas.
Menarik untuk kita perhatikan bahwa umat Islam yang dilarang musyrik sering terjebak pada syirik yang berbahaya ini. Kalau mereka tidak memutlakkan pendapat mereka, mereka memutlakkan paham mazhab mereka. Banyak orang Islam yang merasa golongan merekalah yang paling benar dan mengafirkan golongan yang berbeda dengan mereka. Bila ada di antara mereka yang memegang wewenang -misalnya pengurus masjid– maka yang paling dahulu mereka lakukan ialah menyingkirkan orangorang yang tidak sepaham dari masjid mereka. Yang tidak segolongan dicoret dari daftar khatib atau penceramah, diasingkan dari berbagai kegiatan keagamaan, atau dijadikan bahan gunjingan dalam khotbah. Dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi bila tiran kecil (di masjid) ini berhasil merebut kekuasaan yang lebih besar.
Karena itulah Alquran menyebutkan orang-orang yang memecah-belah agamanya menjadi berbagai golongan itu sebagai orang-orang musyrik (QS. ar-Rum: 31-32). Memecah-belah agama adalah memutlakkan paham suatu golongan sehingga menimbulkan perpecahan. Kerugian umat akibat perpecahan sudah dapat kita ketahui bersama. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa umat Islam hanya hancur karena perpecahan di kalangan mereka sendiri.
*Disarikan dari buku Islam Aktual - KH. Jalaluddin Rakhmat
Comments