Islam adalah agama yang anti terhadap riba. Alquran menyerupakan keadaan para pemakan riba sebagai berikut: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba (pada Hari Kiamat) mereka tidak akan dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS. al-Baqarah: 275)
Pemakan riba diserupakan dengan orang sakit gila yang bila berjalan tidak bisa stabil dan kesulitan berdiri tegak. Apakah penggambaran itu terjadi pada Hari Kiamat dan ketika dibangkitkan, yakni di padang mahsyar? Apa mereka akan digiring dalam keadaan seperti orang gila? Demikianlah kemungkinan yang diterima oleh banyak ahli tafsir.
Tetapi sebagian mengatakan bahwa keadaan mereka itu adalah di kehidupan dunia ini, karena perbuatan mereka seperti orang gila. Secara sosial mereka kehilangan akal sehat, tidak dapat berpikir untuk kebaikan dan tidak bisa mengerti soal kerja sama, kepedulian, kepekaan manusiawi, juga hubungan sesama. Pandangan akal mereka dibutakan oleh pemujaan harta benda, tanpa menyadari bahwa eksploitasi terhadap kaum lemah dan perampasan haknya menumbuhkan benih kebencian dan bisa berujung pada kebangkitan maupun ledakan sosial yang bisa meruntuhkan asas kepemilikan. Dalam kondisi demikian masyarakat tidak akan damai dan aman. Oleh karena itu pemakan riba tidak akan dapat hidup, ia berjalan seperti orang gila.
Sebagaimana kondisi manusia di alam akhirat adalah jelmaan amal perbuatannya selama di dunia, boleh jadi ayat itu mengisyaratkan pada dua pandangan tersebut. Di dunia para pemakan riba bermuka tembok, tidak menggunakan akal budi, dan gila menumpuk kekayaan. Di akhirat pun mereka seperti orang gila.
Di hadis-hadis Ahlulbait diterangkan tentang keadaan si pemakan riba di dunia dan akhirat. Imam Shadiq as berkata: “Pemakan riba tidak akan ke luar dari dunia melainkan dicelakai oleh setan.”
Si pemakan riba akan terserang semacam penyakit gila waktu keluar dari dunia. Dalam riwayat lain ditampakkan keadaan kaum pemakan riba, pemuas perut yang hanya memikirkan keuntungan pribadi, kekayaannya akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
Nabi saw bersabda: “Ketika bermikraj naik, aku melihat satu kaum yang perutnya saking besar sampai tidak bisa berdiri walau sudah berusaha sekuat tenaga, hingga kemudian mereka jatuh ke tanah. Aku bertanya kepada Jibril, 'Siapakah mereka itu? Apa dosa mereka?”
Ia menjawab, ‘Mereka adalah para pemakan riba.’” (Tafsir Nur al-Tsaqalain 1/291)
Bila hadis pertama menggambarkan keanehan manusia di dunia ini, hadis kedua menjelaskan keadaan pemakan riba akhirat. Namun keduanya terkait satu hal, bahwa orang kaya yang mengambil keuntungan melalui riba dan hidup dalam ekonomi yang cacat akan mendapat bumerang sebagaimana orang yang hanya memenuhi perut dan memanjakan badan tanpa ada rasa kepedulian.
Alquran membandingkan antara riba dan infak di jalan Allah: “Allah akan memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (QS. al-Baqarah: 276)
Kata "mahq" pada ayat ini berarti berkurang dan musnah secara perlahan. Pemakan riba dengan hartanya mengumpulkan hasil dari upah kerja keras kaum buruh. Bahkan dengan begitu kehidupan dan keberadaan mereka bisa berakhir, setidaknya akan melahirkan benih kebencian dan dendam yang menjadikan orang haus akan darah si pemakan riba. Jiwa dan hartanya terancam bahaya.
Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 278)
Setelah menyampaikan menegur keras para pemakan riba, Alquran mengubah nada memperingatkan bahwa jika mereka meneruskan perbuatannya, tidak tunduk pada kebenaran dan keadilan, masih sibuk menghisap darah kaum lemah, Nabi saw harus bertindak memerangi mereka. Ancamannya bahwa jika mereka tidak menghentikan perbuatannya, ketahuilah bahwa mereka akan berhadapan dengan Allah dan Rasul-Nya.
Dari banyak ayat dan hadis yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa riba memiliki banyak bahaya, di antaranya:
Riba akan menggoyang kestabilan ekonomi di masyarakat dan menghimpun kekayaan hanya di satu kelompok. Dengan demikian hanya kelompok tertentu yang untung, sedangkan kaum lain mengalami kerugian ekonomi. Jika kesenjangan semakin meningkat waktu ke waktu antara orang kaya dan miskin, bisa berujung pada perang berdarah.
Riba adalah pertukaran ekonomi yang jahat, ia akan mengurangi kepekaan dan hubungan, serta melahirkan benih kebencian dan dendam. Si pemakan riba hanya memandang keuntungan uangnya sendiri tanpa peduli kerugian si penerima utang. Lalu si penerima utang akan menyadari bahwa pemakan riba memanfaatkan uangnya untuk membuat orang lain hidup sengsara.
Orang yang membutuhkan pasti akan pasrah pada riba, tetapi ia tidak akan lupa ketidakadilan sampai merasa dirinya tertekan seakan-akan tangan pemakan riba mencekik lehernya. Inilah yang mendorong penerima utang mengutuk pemakan riba. Ia menjadi haus akan darahnya dan melihat bahwa eksistensi dan sumber hidupnya bermuara pada kantung pemakan riba. Dalam kondisi bergejolak ini timbullah berbagai kejahatan menyeramkan. Terkadang pengutang sampai bunuh diri dan karena kesulitan karena berutang ia bisa sangat tertekan. Terkadang pula timbul gejolak sosial, pergolakan massa, dan perlawanan secara menyeluruh.
Demikianlah riba dari sisi moral berdampak negatif besar pada kejiwaan si pengutang. Timbul rasa dendam dalam hatinya, membuat lemah hubungan kerja sama sosial antara individu dan masyarakat. Sejumlah hadis juga menerangkan dampak buruk riba secara moral, di antaranya dalam kitab Wasail al-Syiah. Hisyam bin Salim menyampaikan, "Imam Shadiq as berkata: "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan riba, agar manusia tidak menolak untuk berbuat kebaikan."
*Disarikan dari buku Bertuhan dalam Pusaran Zaman - Said Husaini
Komentarze