Rasulullah saw bersabda: “Sabar itu ada tiga jenis; sabar atas musibah dan bencana, sabar dalam menjalankan ketaatan dan taklif Ilahi, dan sabar untuk menahan diri dari berbuat dosa dan maksiat.” (Bihar al-Anwar, 71/77)
Terkadang seseorang menghadapi kejadian dan musibah yang menyakitkan, seperti kefakiran, sakit, berpisah dengan karib kerabat, ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintai, ketika dia dituntut untuk bersabar dalam menghadapi semua itu. Kesabaran yang seperti ini disebut dengan kesabaran atas musibah.
Adapun sabar atas maksiat, terjadi ketika nafsu dan amarah menguasai manusia dan hampir jatuh dalam perbuatan dosa. Apabila dalam situasi dan kondisi yang seperti itu, manusia bisa menjaga diri dan tidak terjerumus ke dalam maksiat, maka dia dapat dianggap sebagai seorang yang telah bersabar atas maksiat. Dengan kata lain, menjaga diri untuk tidak ternoda oleh perbuatan dosa juga merupakan satu jenis dari kesabaran.
Bentuk lain kesabaran adalah sabar dalam menjalankan ketaatan. Melaksanakan berbagai taklif llahi, tidak selamanya mudah. Sebagai contoh, belajar sebagai sebuah taklif, bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk menjadi seorang alim dan berpengetahuan tinggi, sangatlah berat dan sulit. Adakalanya dalam belajar, seseorang hanya ingin mendapatkan nilai yang tinggi, tentu hal ini tidaklah terlalu sulit. Namun jika seseorang benar-benar bertujuan untuk menjadi tahu dan mengerti atau ingin benar-benar melaksanakan tugasnya, bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Dia harus melenturkan tulang dan memeras otak, untuk bisa mencapai tujuannya.
Apabila ada orang yang mengatakan bahwa kesabaran adalah bagian terbesar dari keimanan, dia tidak berlebihan dalam ucapannya itu. Apabila seseorang ingin memiliki perbuatan yang terpuji, diridai oleh Allah dan layak diberi predikat sebagai pengikut Ahlulbait a.s., dia harus melatih dirinya untuk sabar dan tabah dalam menghadapi berbagai macam kesulitan. Kesabaran dan ketabahan tidak bisa diperoleh oleh seseorang dalam waktu yang cepat dan singkat, melainkan dia harus melakukan latihan dan proses membiasakan diri yang cukup lama.
Dia harus melatih dirinya untuk memilih pekerjaan yang lebih sulit, meskipun banyak pekerjaan lebih mudah yang bisa dia pilih. Contohnya, kendati ada makanan yang enak, dia berusaha mengabaikan makanan itu demi melatih diri untuk mengendalikan nafsu. Jika memang tidak ada makanan yang enak dan seseorang terpaksa untuk makan makanan yang tidak enak, hal itu tidak bisa disebut melatih diri.
Demikian pula halnya, jika ingin menyelamatkan pendengaran dari hal-hal yang haram, kita harus menjauhkan pendengaran dari hal-hal yang syubhat. Jadikanlah yang halal sebagai batasan agar tidak terjerumus ke dalam yang haram. Karena, jika yang menjadi batasan itu yang haram, tidak akan ada jarak antara yang halal dengan yang haram. Dengan kata lain, apabila kalian ingin selamat dari yang haram, kalian harus menciptakan batasan, yakni kalian harus meninggalkan yang syubhat, agar tidak terjatuh dalam haram. Perilaku berhati-hati seperti ini, juga bisa disebut sebagai bagian dari melatih diri untuk bersabar.
*Ayatullah Taqi Misbah Yazdi – 22 Nasihat Penghalus Budi
Comments