Menurut definisi para fukaha wakaf adalah sebuah akad/perjanjian yang padanya diserahkan sebuah harta yang darinya diambil manfaatnya. [Tahrir al-Ahkam al-Syari'ah, jil. 3, hlm. 289]
Sebagai contoh, sebuah tempat diserahkan secara khusus kepada orang-orang miskin sehingga orang-orang miskin tersebut mengambil manfaat dari tempat tersebut. Barang wakaf tidak boleh diperjualbelikan, dan harta yang telah diwakafkan bukan lagi menjadi milik pemberi wakaf, juga si penerima wakaf pun tidak memiliki hak untuk menjual atau memberikan harta wakaf tersebut. [Muhaqqiq Hilli, Syara'i al-Islam, jil. 2, hlm. 171]
Wakaf juga dikenal sebagai salah satu bentuk dari sedekah amal jariah, sebab manfaat dari wakaf tersebut tetap mengalir meski si pemberi wakaf telah meninggal dunia. Dalam kitab fikih, wakaf dibagi atas dua bentuk, wakaf umum dan wakaf khusus. Yaitu: jika wakaf yang diberikan memiliki tujuan umum atau ditujukan kepada kelompok umum maka disebut sebagai wakaf umum seperti wakaf sekolah dan rumah sakit atau wakaf harta untuk kelompok fuqara atau ahli ilmu. Sementara wakaf yang dimaksudkan dengan tujuan khusus dan diperuntukkan untuk kelompok khusus juga maka disebut wakaf khusus. Seperti wakaf sebuah tempat yang ditujukan khusus untuk seseorang atau orang-orang khusus.
Pemanfaatan wakaf terhadap perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat Islam di antaranya untuk pembangunan masjid, sekolah-sekolah, perpustakaan, rumah sakit, pusat-pusat kesehatan, saluran air dan sebagainya yang dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat miskin, anak-anak yatim, penderita disabilitas, dan untuk membiayai kebutuhan ulama. Oleh karena itu, wakaf dikatakan telah berperan dalam bidang jaminan sosial, kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Imam Ali bin Abi Thalib as adalah sosok yang banyak menyerahkan hartanya sebagai wakaf. Disebutkan oleh Ibnu Syahr Asyub, Imam Ali as telah mewakafkan 100 mata air (sumur) di Yanba' yang ditujukan untuk para jamaah haji. Demikian pula ia mewakafkan sejumlah sumur pada rute Kufah ke Mekah Ia juga membangun masjid di Madinah, Miqat, Kufah dan Basrah kemudian mewakafkannya.
Saat ini, situs keagamaan seperti tempat suci para imam, masjid, dan hauzah ilmiah/pesantren dikelola dari pembiayaan para orang-orang yang telah memberikan wakaf.
Syarat Sahnya Wakaf
Fukaha menjelaskan syarat sah wakaf dari empat sisi: harta yang diwakafkan, wakif (pihak yang memberikan wakaf), pihak penerima wakaf dan wakaf itu sendiri.
Harta yang diwakafkan harus memiliki empat syarat:
Harta yang diwakafkan memiliki wujud dan bentuk yang jelas. Menurut syarat ini, kita tidak dapat mewakafkan harta yang masih menjadi hak milik orang lain atau rumah yang akan diwakafkan tidak jelas rumah yang mana.
Mampu dimiliki. Menurut syarat ini, sebagai contoh, babi tidak dapat diwakafkan karena tidak dapat dimiliki oleh seorang muslim.
Dapat diambil manfaatnya yang meski dengan itu, keaslian harta ini tetap tidak hilang. Menurut syarat ini, uang tidak dapat diwakafkan. Karena ketika uang ini dimanfaatkan maka melazimkan hilangnya keaslian uang tersebut.
Pemberi wakaf tidak dapat mewakafkan harta yang bukan miliknya; sebab tidak ada izin untuk mengambil harta itu. [Muhaqqiq Hilli, Syara'i al-Islam, jil. 2. hlm. 166-167]
Pemberi Wakaf
Pemberi wakaf disyaratkan baligh, telah mencapai kematangan akal dan juga memiliki kewenangan atas harta tersebut. [Muhaqqiq Hilli, Syara'i al-Islam, jil. 2, hlm. 167]
Pihak Penerima Wakaf
Pihak yang menerima wakaf harus ada orangnya dan jelas siapa saja serta bukan pihak yang diharamkan baginya untuk memanfaatkan wakaf. Menurut syarat ini, maka wakaf tidak untuk mereka yang belum lahir. Demikian pula, untuk penjahat dan orang-orang kafir harbi tidak diperkenankan wakaf untuk mereka, sebab wakaf haram bagi mereka. [Muhaqqiq Hilli, Syara'i al-Islam, jil. 2, hlm. 168]
Amalan Wakaf
Amalan wakaf menjadi sah ketika memenuhi syarat-syarat di bawah ini:
Berlaku permanen; yaitu wakaf tidak boleh berlaku sementara. Oleh karena itu wakaf yang hanya berlaku di waktu-waktu tertentu maka tidak sah. Demikian juga wakaf yang diperuntukkan pada seseorang secara khusus, tidak sah sebab wakaf tersebut akan berakhir dengan kematiannya.
Aktualitas; artinya, dalam penyebutan niat wakaf, harta yang diwakafkan harus sudah berlaku sejak diniatkan, tidak untuk mewakafkan harta di masa yang akan datang, misalnya suatu harta diwakafkan dengan niat nanti akan berlaku pada awal bulan.
Pengalihan harta wakaf. Selama harta yang telah diwakafkan belum diambil dari pihak yang mewakafkan maka harta tersebut belum disebut wakaf dan masih terhitung kepunyaan pemiliknya.
Telah keluar dari kepemilikan yang mewakafkan. Menurut syarat ini, seseorang tidak bisa mewakafkan hartanya untuk dirinya sendiri. [Muhaqqiq Hilli, Syara'i al-Islam, jil. 2, hlm. 1170-1171]
*Disarikan dari wikishia.net
Comments